Minggu, 05 Februari 2017

ASMIDA: Bohong itu permulaan dari kejahatan: siapa yang bertanggung jawab

Bohong itu permulaan dari kejahatan: Siapa yang  bertanggung jawab

Oleh:
Dra. Hj. Raja Muda Asmida, M. Pd


Mau tidak mau suka tidak suka pada dasarnya berbohong itu merugikan diri sendiri, merusak diri sendiri, apapun alasan dan bentuknya yang dimulai dari kecil sampai besar, berbohong itu permulaan dari kejahatan. Oleh sebab itu saat melihat anak-anak mulai curang melakukan hal2x yang belum sepenuhnye mereka ketahui karna belum tercerna oleh akal pikiran anak-anak segeralah diluruskan ditegur dan jangan dibela kesalahannya sehingga tidak menjadi pembiasaan anak untuk melakukan hal yang buruk serta tidak bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukan, selain itu jangan pernah melakukan pembelaan atas kesalahan anak karna itu akan berakibat fatal terhadap perkembangan si anak selanjutnya saat mereka seutuhnya menjadi bahagian dari sistem masyarakat. Berdasarkan pengamatan tidak terstruktur penulis, sangat jarang saat dewasa, anak yang suka berbohong berubah, malahan mereka semakin mahir bersandiwara memutar balikkan fakta untuk membenarkan perilaku mereka padahal mereka telah melakukan kesalahan, tentunya dengan tujuan supaya dia bebas dari hukuman misalnya hukuman dari orang tua, namun dia lupa seperti kate orang melayu "sepandai pandai tupai melompat pasti terjatuh juge" hal ini mengindikasikan selihai apepun orang berbohong pasti akan ketahuan, dan ingatlah Satu yang tidak akan pernah bisa dibohongi dan dari segala lini Die mengetahui, adekah yang bertanye siapekah itu? Die adalah sipemilik segala bentuk hukum yang nampak maupun tidak yaitu Allah Swt.

Kembali kepada tabiat suke berbohong tadi, penulis ingin mengambil suatu contoh sederhana tentang permainan kartu anak-anak yang terdapat angka-angka yang dapat digunakan sebagai salah satu media pembelajaran, berikut ilustrasi yang diamati saat sianak mulai berlaku curang dalam bermain misal: 1) memilih kartu yang angkanya tinggi untuknya sedang untuk yang lain atau lawan mainnya dipilihnya kartu yang rendah, sewaktu hal tersebut diketahui sianak berdalih mengatakan tidak; 2) kemudian kartu dikocok lagi, namun sianak tetap melakukan hal yang sama dengan trik yang berbeda, setelah kartu dibagikan ternyata kartu sianak lebih banyak,  kok bisa, bukankah seharusnya jumlahnya sama, saat dikatakan dia memilih dan menumpuk kartu, sianak tidak mengaku tapi setelah ketahuan akhirnya sambil ketawe penulis mengingatkan sehingga akhirnye die menyatakan "kawannya seperti itu" o.....walau anak tidak sadar akan perbuatannya yang mulai melemparkan kesalahan pada orang lain supaya perbuatan salah tersebut tidak ditimpakan pada dia tapi hati-hati ciri-ciri awal perilaku tidak bertanggung jawab yang harus segera di berantas.
Disini penulis cube fokuskan, betapa cepat sikap meniru sianak terhadap perilaku kawan-kawan sepermainannya baik disekolah maupun diluar sekolah dan penulis juga yakin dari lingkungan sianak khususnya dengan orang tua walau dalam konteks yang berbeda. Melihat situasi tersebut kemudian sambil senyum penulis menjelaskan bahwa "pembagian kartu jumlahnya harus sama, nanti sama2x  habis, jumlah yang tertinggi sebagai pemenang", selanjutnya penulis mengingatkan didalam suatu permainan harus ada yang kalah dan menang", "kalah tapi kita bermain jujur itu baru bagus dari pada kita menang tapi curang" ucap penulis. Kemudian sianak berdalih menyatakan "nanti dia kalah, kawannya disekolah juga seperti itu". Oo....jangan ditiru, pokoknya tidak boleh curang harus jujur nanti Allah marah. Syukurlah sianak bercerita kondisi kawan sepermainannya sehingga penulis cepat tau begitu juge pelajaran sekolah. Kembali ke kata bohong tadi, pertanyaan, dari manakah seorang anak pandai berbohong dan memutar balik cerita yang mungkin dulu tidak terpikir oleh orang tua atau masyarakat yang sering terkejut melihat situasi ini dan selalu berkeluh kesah tidak peduli apepun tingkat pendidikan,ekonomi dsbnya salah satu sudah terjawab. Menurut penulis berbagai kemungkinan bisa saja terjadi salah satunya seperti cerita diatas dimana lingkungan pergaulan anak, siapakah kawan sianak, apa yang ditonton anak secara terus menerus dan berlama lama didepan layar TV khususnye apakah ada yang menemani saat sianak didepan TV apakah ada orang tua/kakak/abang/uwak/tante dsbnya, kemudian kalaupun ada apakah mereka hanya duduk manis saat melihat tayangan yang bukan merupakan tontonan sesuai umur sianak, kalau begitu adanya sama saja orang tua membiarkan anak menonton sendiri dan menelan bulat bulat - bulat isi acara TV atau media lainnya tanpa dicerna karna memang sianak belum punya kemampuan untuk mencerna tayangan yang bukan tontonannya dengan berbagai bahasa gaul atau ejekan, olokan permainan. 

Selain itu hal yang sering kite dengar tanpa disadari berbohong dimulai dari orang tua, contoh saat ade orang mencari orang tue kerumah, mungkin karna lagi malas menerime tamu tidak jarang orang tua mengatakan " sebut ayah /ibu tak ade", padehal tidak ada salahnye orang tue mengatekan saat tamu didepan rumah atau dekat pagar bilang : ayah/ibu ada, sedang istirahat tidak bisa diganggu telpon aja nanti", kan selesai selain itu kita juga mengajarkan pada tamu tata krama kalau mau datang kerumah orang lain membiasakan diri menelpon dulu atau jauh2x hari membilang akan berkunjung atau bertamu sehingga tamu mengetahui kesediaan siempunya rumah mau menerima tamu atau tidak, karna orang mau beristirahat, orang punye privacy untuk diri sendiri, dan lain sebagainya. Dari sedikit permasalahan yang nampaknye sederhana namun  tidak sesederhana akibat yang ditimbulkan untuk jangka panjang itu siapakah yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan jiwa sianak? Penulis yakin kita sepakat jawabannya adalah orang tua. Orang tualah pondasi pertama pendidikan anak di keluarga, orang tualah yang diamanahkan Allah Swt sebagai pendidik utama akhlak anak, ditangan orang tualah pembelajaran awal sianak tentang realita kehidupan yang akan dihadapi seiring perjalanan waktu, makanan lahir berupa pendidikan umum dan makanan jiwa berupa pendidikan agama yang terpancar diantaranya dari pola pikir anak, sikap bertanggung jawab terhadap apapun yang dilakukan bukan melemparkan pada orang lain atau menyalahkan orang lain. Bukankah semuanya nanti akan dipertanggung jawabkan dihadapan sang pemilik seluruh jagad raya beserta isinya Allah Swt, oleh sebab itu jangan pernah mengajarkan kebohongan apapun bentuknya pada anak, karna tanpa diajarpun bibit kebohongan itu menurut hemat penulis sudah ada pada tiap manusia , tidak peduli apapun status sosialnya hanya tingkat kemunculannya berbeda.